Orang yang berisiko tinggi dianjurkan segera skrining.

Mengapa perlu mewaspadai penyakit satu ini? Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melalui Global Cancer Observation (Globocan) bisa menjadi alarm yang kuat. Menurut WHO, kanker paru merupakan salah satu kanker dengan angka kejadian tertinggi di Indonesia, di mana terdapat 34.783 kasus baru kanker paru di Indonesia dan 30.843 kematian akibat kanker paru selama tahun 2020.

 

Dokter Else Mutiara Sihotang, Koordinator RS Pendidikan yang juga mewakili Kementerian Kesehatan RI, mengatakan kanker paru juga termasuk penyakit katastropik, yaitu penyakit yang menimbulkan biaya yang besar dan juga mengancam kematian pasien.

 

“Penyakit katastropik memberikan beban cukup tinggi untuk pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Data dari BPJS tahun 2010, kanker menempati tempat kedua dalam pembiayaan BPJS setelah jantung,” jelasnya dalam acara bincang virtual.

 

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Onkologi Indonesia serta Rumah Sakit Kanker Dharmais, Pusat Kanker Nasional, dr Evlina Suzanna, SpPA,  menjelaskan jumlah kasus kanker paru di Indonesia semakin meningkat tiap tahunnya di Indonesia.

 

Kanker paru juga merupakan kanker yang paling banyak terjadi pada laki-laki yaitu setidaknya insiden 21 per 100 ribu penduduk. Setiap tahun bertambah 21 ribu kasus kanker paru dengan angka kematian yang cukup tinggi yaitu 18 per 100 ribu penduduk.

Freepik

FREEPIK

top

“Tipis antara kasus penyakit dan angka kematiannya. Angka harapan hidupnya juga cukup rendah. Setiap tahun akan bergulung angka tersebut, kasus lama bertambah lagi, terus demikian. Tidak putus dan cenderung naik,'' ujar dia.

 

Sementara pada wanita, kanker paru berada pada urutan nomor enam dengan angka kejadian 6,5 per 100 ribu, serta angka kematiannya 5,5 per 100 ribu. Total kasus pria dan wanita hampir 27 ribu kasus kanker baru.

 

Selain itu, usia penderita kanker paru pun semakin muda. Dahulu puncak kejadian di usia 55 tahun, kalau sekarang menurun di usia 45 tahun. "Artinya penopang keluarga menjadi terganggu. Sulit untuk berdiri dengan kokoh suatu keluarga," kata Evlina.

 

Data dari Jurnal The Lancet Oncology, salah satu jurnal penelitian dari Eropa tahun 2014, memperlihatkan hanya sekitar 13,7 persen pasien kanker paru yang masih bertahan dalam lima tahun setelah diagnosis ditegakkan. Sedangkan rata-rata lama hidup pasien setelah diagnosis kanker paru adalah delapan bulan. “Jadi sangat kecil kemungkinan seseorang mencapai harapan hidup setelah kanker paru,” ujarnya.

 

Tak hanya merupakan salah satu kanker paling mematikan di dunia dan Indonesia, kanker paru juga merupakan penyakit dengan dampak yang multidimensi. Berdasarkan penelitian dari Japanese Journal of Clinical Oncology tahun 2014, pasien dengan kanker paru memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan pasien kanker lainnya karena tekanan mental yang dirasakan.

 

Karena biaya pengobatannya yang besar, kanker paru juga berpotensi mempengaruhi produktivitas keluarga atau pengasuh pasien, yang sering kali semestinya sedang berada dalam masa puncak produktivitas mereka. Berbagai jurnal penelitian dari Eropa dan Amerika menunjukkan bahwa dampak ekonomi dan sosial kanker paru diperkirakan yang terbesar di antara semua jenis kanker.

 

Meski begitu, kematian akibat kanker paru dapat dicegah, tingkat kesintasan pasien dapat meningkat, dan biaya kesehatan dapat dihemat apabila diagnosis dan tata laksana yang tepat dilakukan lebih awal.

freepik

Faktor Risiko

Jadi sangat kecil kemungkinan seseorang mencapai harapan hidup setelah kanker paru.

Tanda utama kecurigaan APK dapat dilihat pada pemeriksaan radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru terutama kavitas. Selain itu, pasien biasanya menunjukkan kadar antibodi Aspergillus.

Apakah Anda berusia 40 tahun atau lebih, perokok aktif atau pasif atau mantan perokok kurang dari 10 tahun, atau punya riwayat kanker paru dalam keluarga? Mohon ingat, agendakan deteksi dini kanker paru dalam jadwal Anda.

 

Mengapa? Ini karena Anda termasuk dalam jajaran orang yang berisiko tinggi atau punya faktor risiko terhadap penyakit kanker paru.

 

Direktur Eksekutif Research of Indonesian Association for the Study on Thoracic Oncology (IASTO), Prof dr Elisna Syahruddin, PhD, SpP(K) Onk, mengungkapkan skrining dan deteksi dini sangat diperlukan agar pasien kanker paru ditemukan pada stadium dini sehingga upaya untuk meningkatkan angka tahan hidup (kesintasan) dapat dicapai.

 

“Orang yang berisiko tinggi atau memiliki faktor risiko dianjurkan melakukan skrining, orang yang berusia 45 tahun, dia perokok baik aktif atau pasif, atau bekas perokok tapi kurang dari 10 tahun. Kedua, umur lebih dari 40 tahun namun dalam keluarga ada riwayat kanker paru. Itulah kelompok yang dianjurkan skrining,” paparnya.

 

Prof Elisna menambahkan banyak negara telah menerapkan kebijakan skrining dengan menggunakan low-dose CT scan (LDCT) untuk deteksi dini kanker paru. Kebijakan tersebut didukung oleh hasil studi di Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa yang menunjukkan efektivitas biaya dalam program skrining kanker paru. Jadi harapannya di Indonesia kanker paru pun bisa segera masuk ke dalam program deteksi dini dari Kementerian Kesehatan.

 

Elisna pun mengatakan skrining pada kanker paru ini diharapkan bisa dilakukan bagi masyarakat luas yang memiliki faktor risiko tinggi, terutama yang terpapar asap rokok. ''Apalagi mereka yang merupakan perokok berat dan mempunyai riwayat kanker paru dalam keluarganya. Skrining ini penting untuk menekan angka kematian akibat kanker paru. Karena dengan skrining, kanker bisa dideteksi lebih awal. Sehingga pasien kanker paru, tidak datang dengan stadium lanjut,'' katanya.

Jangan Ragu

Periksakan Kesehatan Paru

Direktur Eksekutif Research of Indonesian Association for the Study on Thoracic Oncology (IASTO), Prof dr Elisna Syahruddin, PhD, SpP(K) Onk,  mengatakan penyebab kanker paru tidak diketahui hingga saat ini. Namun, berdasarkan penelitian, faktor risiko kanker paru ini utamanya disebabkan oleh sejumlah hal. Berikut di antaranya:

Terdiagnosis Saat Stadium Lanjut

Koordinator Kanker Paru Cancer Information and Support Center, Megawati Tanto, mengungkap pengalamannya sebagai seorang penyintas kanker paru sekaligus mewakili rekan-rekan pasien kanker paru di Indonesia.

 

Menurut Megawati, sering kali para pasien kanker paru terdiagnosis ketika sudah memasuki stadium lanjut. Akibatnya, tindakan pengobatan yang diterima pun terlambat sehingga tingkat angka kematian pasien kanker paru menjadi tinggi.

 

Pasien kanker paru di Indonesia juga menghadapi berbagai kendala, mulai dari pelayanan diagnosis kanker paru di BPJS yang masih terbatas dan tidak mencukupi untuk pemeriksaan molekuler seperti EGFR, ALK dan PD-L1, belum adanya program skrining kanker paru dari pemerintah, sehingga pasien tidak bisa melakukan pemeriksaan yang dibutuhkan karena adanya kendala biaya.

 

Selain itu, dari sisi pengobatan banyak kebutuhan pengobatan yang memang tidak bisa didapatkan pasien, karena tidak bisa diperoleh melalui BPJS. “Kami berharap pihak yang berkepentingan dapat semakin peduli akan para pasien kanker paru dan menjadikan pelayanan kanker paru yang komprehensif dan mudah diakses masyarakat sebagai salah satu prioritas,” ujar Mega.

freepik

Pemerintah sendiri telah menyadari besarnya beban penyakit tidak menular seperti kanker bagi pembangunan bangsa dan berkomitmen untuk mengurangi kematian yang diakibatkan penyakit tersebut.

 

”Secara khusus terkait pengendalian faktor risiko dan pencegahan kanker paru, pemerintah berupaya menjalankan program pengendalian tembakau dan rokok, yang menjadi salah satu faktor risiko utama kanker paru,” ujar Dokter Else Mutiara Sihotang, Koordinator RS Pendidikan yang juga mewakili Kementerian Kesehatan RI.

 

Namun dengan prevalensi perokok aktif sebesar 33,6 persen atau sepertiga dari seluruh populasi dewasa, kerja sama berbagai pihak pun menjadi mutlak.

Bagaimana dengan langkah terapi penyakit kanker paru? Direktur Eksekutif Research of Indonesian Association for the Study on Thoracic Oncology (IASTO), Prof dr Elisna Syahruddin, PhD, SpP(K) Onk menyatakan pilihan terapi di Indonesia juga harus sesuai dengan karakteristik kanker paru orang Indonesia.

 

Kemajuan teknologi medis juga telah memungkinkan pemeriksaan molekuler untuk pasien yang telah terdiagnosis kanker paru, guna memberikan pilihan terapi target yang tepat. “Sebelum era terapi target, kemoterapi sebagai sistemik terapi memberikan hasil yang sama. Apa pun obat yang diberikan atau rejimen yang digunakan hasilnya akan sama,'' ujarnya.

Rejimen merupakan komposisi jenis, jumlah, dan frekuensi pemberian obat sebagai terapi pengobatan.

 

Elisna menegaskan kemoterapi saja tidak akan berdampak terlalu tinggi. ''Hasil penelitian membuktikan jika kemoterapi dikombinasikan dengan radioterapi, maka harapan hidupnya akan tinggi atau meningkat. Kemudian muncul era terapi target, maka dilakukan penelitian terapi target. Kemudian muncul imunoterapi dan juga dilakukan penelitian,” jelasnya.

Hati-hati Jamur Paru

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat Indonesia merupakan negara ketiga dengan jumlah kasus tuberkulosis (TB) paru terbanyak di dunia.

 

Satu hal yang perlu diwaspadai adalah dari ratusan ribu pasien bekas TB paru di Indonesia yang bertahan setelah satu tahun pasca-pengobatan TB, sebagian berpotensi mengalami aspergilosis paru kronik (APK). “APK ini memang statusnya kita waspadai pada pasien TB,” papar perwakilan tim peneliti dari Pusat Mikosis Paru Indonesia, Fakultas Kedokteram Universitas Indonesia-RS Persahabatan, dr Findra Setianingrum, MSc, PhD.

 

Pada 2020 terdapat 824 ribu kasus dan hampir 100 ribu kematian akibat TB. Sekitar 600 ribu pasien yang sembuh dari TB berisiko mengalami APK secara global. Jadi, kendati kebanyakan infeksi TB dapat disembuhkan, para peneliti melaporkan bahwa pasien tersebut masih berpeluang mengalami APK yang dapat mempengaruhi kualitas hidup.

Dengan jumlah pasien TB terbanyak ketiga didunia, Indonesia berpotensi menghadapi permasalahan penting, yaitu adanya angka kematian TB yang meningkat. “Dengan angka kematian TB yang meningkat salah satunya mungkin ada kontribusi dari penyakit jamur. Jadi penanganannya harus bersinergi antara TB dan penyakit jamur,” ujar Findra.

 

Ia menambahkan kunci utama keberhasilan penegakan diagnosis dini infeksi jamur adalah kecurigaan atau kewaspadaan dokter terhadap kemungkinan infeksi tersebut, khususnya berdasarkan anamnesis (riwayat kesehatan) faktor risiko dan penyakit dasar.

 

Pasien yang memiliki penyakit dasar TB, keluhan dasar batuk lama, sesak, nyeri dada, batuk darah, demam, penurunan berat badan, atau kelesuan terutama dalam tiga bulan terakhir, hendaknya bukan hanya dicurigai mengalami infeksi TB paru atau keganasan, tapi juga perlu dipikirkan sejak awal kemungkinan mikosis paru. Ditambah lagi adanya gambaran ronsen dada adanya kerusakan jaringan paru dan kenaikan antibodi Aspergillus, maka perlu dicurigai adanya APK.

irwan iwe/unsplash

“Tanda utama kecurigaan APK dapat dilihat pada pemeriksaan radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru terutama kavitas. Selain itu, pasien biasanya menunjukkan kadar antibodi Aspergillus,” ujar dr Findra.

 

Kavitas adalah kantung tidak normal yang terbentuk di dalam paru-paru akibat infeksi misalnya karena dipicu tuberkulosis atau tumor.

 

TB berpotensi menjadi APK, menurut Findra, karena di dalam TB ada kerusakan jaringan paru atau kavitas. Ketika seseorang terserang TB, paru-parunya sudah dalam kondisi yang tidak normal lagi sehingga memudahkan adanya kolonisasi atau bertempat tinggal di situ dan akhirnya menyebabkan infeksi atau kerusakan lebih lanjut. "Sebabnya karena TB menyebabkan kerusakan parunya terlebih dahulu, dari kerusakan paru itu yang disebabkan oleh TB, maka Aspergillus yang memang ada di udara, terhirup, dengan adanya kerusakan paru akibat TB, dia lebih memudahkan menjadi APK," jelasnya.

 

Ia menambahkan perubahan dari TB berubah menjadi APK membutuhkan waktu yang berbeda pada tiap individu tergantung kasusnya. Namun berdasarkan pengalaman dr Findra, ada pasien yang sudah 10-15 tahun sembuh dari TB lantas menderita APK, ada juga yang hanya butuh waktu dua tahun atau lima tahun. "Pasien memiliki perjalanan sendiri, tapi ketika ada sistem imun turun maka kemungkinan APK lebih cepat kambuh," ujarnya.